TEMPO.CO, Jakarta - Farmina,
dokter spesialis biomedis dan anti-aging di Jakarta menjelaskan tentang cara
terbaik untuk berhenti merokok. Menurut dia, mengubah kerja kimiawi otak
pecandu rokok dengan cara meyakinkan dirinya terlepas dari ketergantungan.
Namun, bagi perokok, berhenti
seketika memang sulit. Ada yang memilih menggunakan obat untuk menghentikannya
dengan seketika. Namun sebenarnya obat-obatan tidak dapat memutus rantai
kecanduan. Bila berhenti mengkonsumsi obat, “Perokok akan kembali
merokok,” ujar Farmanina yang ditemui di Jakarta beberapa waktu
lalu.
Adapun Philip Gabel, dokter
spesialis akupunktur dari Queensland, Australia, obat anti-rokok ini bekerja
mengganti zat mirip nikotin yang sudah masuk ke pembuluh darah. “Bila
obat ini dihentikan, otomatis tubuh akan menagih lagi zat sejenis nikotin yang
sudah telanjur mengubah susunan kimiawi dalam otak,”
ujar Gabel dalam seminar yang sama.
Karena itu Gabel menawarkan
alternatif, yakni teknologi penyinaran laser dengan level rendah di 29 titik
tertentu pada tubuh manusia guna mengurangi kecanduan rokok. Menurut Gabel,
bukan sinar laser kadar rendah yang mengurangi kebiasaan merokok. Tetapi sinar
laser tersebut merangsang beberapa titik saraf yang langsung terhubung dengan
proses kimiawi otak, sehingga otak kembali memproduksi hormon dopamin secara
normal.
“Secara biokimia, sinar laser level rendah ini membantu
saraf di tubuh dan otak untuk mengubah cara produksi dopamin dalam otak,”
katanya.
Dalam presentasinya Gabel
memaparkan, terdapat 29 titik saraf di tubuh yang tersambung langsung dengan
neurotransmiter di otak yang memproduksi dopamin. Titik-titik ini tersebar di
wajah, tangan, maupun kaki. Misalnya saja ada yang di hidung, dahi, kedua ujung
bibir, belakang telinga, dan dagu. “Titik itulah yang
ditembak dengan sinar laser level rendah,” katanya.
Gabel mengklaim 95-100 persen
keberhasilan terapi laser level rendah dalam menghentikan kebiasaan merokok. Ia
juga menyebutkan terapi laser kadar rendah ini sebagai terapi yang paling aman
karena tidak memiliki efek samping. “Tidak menyebabkan
infeksi dan perdarahan atau risiko gangguan ginjal karena obat yang tidak
termetabolisme dengan baik,” ujarnya.
Meski begitu, terapi ini
tidak dapat diterapkan pada ibu hamil, pasien yang sedang menjalani terapi
laser lain, atau juga pasien yang pernah mengalami kejang. Karena itu, menurut
Gabel, sebelum diterapi, ada beberapa prosedur yang harus dilalui, yakni
diagnosis fisik oleh dokter, konsultasi psikologi, kemudian simulasi terapi
laser. “Baru dilakukan penyinaran,”
katanya.
Sumber: TEMPO.CO
0 komentar:
Post a Comment